ANALISIS LATAR PADA CERPEN

MISTERI KOTA NINGI(ATAWA THE INVISIBLE CRISTMAS)

KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

Oleh: Pekik Nursasongko*

Membaca tulisan Seno Gumira Ajidarma (SGA) seperti diajak berkelana lintas dunia. Kelihaiannya menggabungkan antara fakta dan fiksi menjadikan karya-karyanya begitu mencerminkan totalitas sebuah karya sastra. Novelnya yang berjudul Kitab Omong Kosong bahkan dianugrahi Khatulistiwa Literary Award tahun 2005 untuk kategori novel. Wikipedia.org menyebutkan bila Seno Gumira Ajidarma lahir di Boston pada 19 Juni 1958. Bukunya yang telah terbit diantaranya Atas Nama Malam, Sepotong Senja untuk Pacarku, Biola tak Berdawai, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, Negeri Senja dan lain sebagainya. Karyanya, Sebuah Pertanyaan untuk Cinta telah difilmkan dan ikut serta dalam festifal film Jiffest (Jakarta International Film Festifal). Selain itu cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma juga termuat di berbagai media masa nasional. Saat ini ia masih aktif sebagai salah satu staf pengajar di IKJ mata kuliah Peulisan Kreatif dan Kritik Film.

Cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas) merupakan salah satu cerpen dalam antologi cerpen Seno Gumira Ajidarma bertajuk Saksi. Sebuah antologi berisi 12 cerpen yang mengisahkan tentang Insiden Dili atau situasi di Timor Timur pada tanggal 12 November 1991 (SGA. 2005: 103). Antologi tersebut muncul karena ketidakpuasan SGA terhadap kebebasan pers pada saat itu, hal tersebut diceritakannya secara gambalang pada buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara (2005). Diantara penyebab ketidakpuasannya terhadap pers ialah Seno dipecat dari jabatannya sebagai redaktur pelaksana majalah Jakarta Jakarta (JJ) karena meloloskan laporan bertajuk Dili: Heboh Vidio yang tanggal terbitnya tercatat 23-29 November 1991. Uniknya Seno saat itu tidak tahu persis apa kesalahannya sehingga dipecat dari JJ, karena yang diketahuinya ia dan dua rekannya dipecat hanya karena permintaan reorganisasi dari pihak ABRI (SGA. 2005: 58-85).

Terlepas dari bagaimana dan mengapa Cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas) terlahir, cerpen secara otonom telah menyajikan sesuatu yang sangat menarik. Bagaimana seorang petugas sensus harus menghadapi jumlah penduduk yang kian menipis dan masyarakat sebuah kota bernama Ningi yang terbiasa hidup dengan makhluk tidak terlihat. Makhluk yang dipercaya sebagai sanak familinya sehingga mereka biasa makan dan minum dengan makhluk yang tak nampak tadi. Hal yang kemudian menjadi sangat mengejutkan bagi seorang petugas sensus, karena selain kebisaan aneh tersebut, jumlah penduduknya terus menurun dari tahun ke tahun. Keterkejutan petugas sensus tersebut sangat nampak pada kutipan berikut:

Aku keluar dari rumah itu dengan kepala pusing. Kulihat sendiri bagaimana teko tertuang, gelas terangkat, air terminum dan lenyap, seolah- olah memang ada yang meminumnya (SGA. 2002 ; 85).

….. aku cepat-cepat masuk lagi ke sebuah rumah lain, mencoba melupakan kejadian di rumah yang tadi. Tapi, begitulah, Ningi agaknya adalah sebuah kota yangbetul-betul ajaib. Disetiap rumah yang kumasuki selalu ada saja makhluk-makhluk yang tak kelihatan itu…. (SGA. 2002: 85)

Hingga akhirnya, setelah sang petugas sensus bertugas selama 15 tahun di Kota Ningi, tinggal ia yang tersisa sebagai makhluk yang kelihatan. Tepat pada malam natal. Meskipun loneng gereja terus berdentang dan nyanyian paduan suara tetap menggema menyanyikan malam kudus.

Makalah ini hanya akan membahas latar pada Cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas) dengan alasan lewat analisis latarlah dapat diketahui latar kehidupan tokoh, dan bagaimana sosok Kota Ningi yang digambarkan pada cerpen. Selain itu latar juga bisa jadi merupakan cerminan yang merefleksikan suasana jiwa tokoh atau sebagai salah satu bagian dunia selain karakter dalam diri tokoh sebuah karya sastra (Stanton. 2007: 36).

Stanton menyebutkan bila latar adalah lingkungan yang memayungi sebuah peristiwa (stanton. 2007: 35). Latar merupakan tempat terjadinya cerita atau peristiwa pada waktu tertentu. Di dalam latarlah para tokoh melakukan adegan demi adegan sesuai perwatakannya masing-masing. Karena latar melingkupi waktu, tempat, alat dan latar sosial sebuah cerita berlangsung. Dalam karya sastra berbentuk prosa, latar cenderung lebih mudah diidentifikasikan darpada dalam puisi. Hal ini dikarenakan dalam puisi latar memang tidak sepenting keberadaan latar dalam karya sastra bergenre prosa. Meskipun pada kenyataannya beberapa puisi juga menyebutkan latar dengan demikian detail, misalnya sajak Senja di Pelabuhan Kecil karya Chairil Anwar.

Melalui analisis terhadap latar, seseorang dapat mengetahui bagaimana keadaan, pekerjaan, dan status sosial para tokoh. Seringkali latar juga berhubungan erat dengan nasib seorang tokoh dalam sebuah teks. Artinya lingkungan sekitar kerap memberikan efek secara langsung terhadap apa yang dikerjakan seorang pelaku. Ketika hujan dan seorang tokoh sedang berjalan, maka ia akan mencari tempat berteduh dan jika ia mempunyai payung maka ia akan segera menembus hujan. Tapi bila tidak sangat mngkin ia akan melakukan interaksi dengan orang yang juga tengah berteduh. Secara umum latar dibagi dalam:

1.
latar tempat

Latar tempat ialah tempat atau daerah terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Sangat mungkin latar tempat sebuah teks prosa terdapat di dalam ruangan dan tidak menutup kemungkinan latar tempat terjadi di ruang lingkungan. Di jalanan atau di sebuah kota misalnya.

1.
Latar waktu

Latar waktu ialah waktu terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Latar waktu bisa berupa detik, menit, jam, jari, minggu, bulan, tahun, dan seterusnya. Tetapi juga sangat mungkin pengarang tida menentukan secara persis tahun, tanggal atau hari terjadinya peristiwa, namun hanya menyebutkan saat Hari Raya, Natal, tahun baru dan sebagainya yang pada akhirnya juga akan engacu kepada waktu seperti tanggal dan bulan tergantung latar tempat dalam cerita. Misalnya tahun baru di Indonesia identik dengan 1 Januari, namun di Arab tahun baru lebih identik pada 1 Muharram.

1.
Latar Alat

Latar alat ialah benda-benda yang digunakan tokoh dalam sebuah cerita dan berhubungan dengan suatu lingkungan kehidupan tertentu. Misalnya laptop, pena, buku catatan, KTM merupakan alat-alat yang khas dimiliki mahasiswa.

1.
Latar sosial

Latar sosial ialah lingkungan hidup dan sistem kehidupan yang ada di tengah-tengah para tokoh dalam sebuah cerita. Pada umumnya latar sosial berhubungan erat dengan tiga latar lainnya. Misalnya seorang mahasiswa umumnya tinggal di kos dan hanya memiliki dua buah gelas di kamarnya dan seseorang bisa dipastikan menduduki kelas sosial yang tinggi dalam sistem kehidupan bila ia memiliki sopir dan pergi dengan alat transportasi mobil BMW.

Latar Pada Cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas)

1. Latar Tempat

Sesuai dengan pembagian latar dan pengertian pada bab bagian sebelumnya, latar tempat yang terdapat dalam cerpen Cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas) karya Seno Gumira Ajidarma ialah Kota Ningi, rumah penduduk, dan jalanan Kota Ningi. Latar tempat menjadi latar yang paling dominan dalam cerpen karena penyebutannya yang sangat detail. Latar tempat (Kota Ningi) diketahui dari judul dan beberapa kali aku liris menyebut Kota Ningi sebagai tempatnya bekerja.

Pada malam Natal, di kota Ningi, kulangkahkan kakiku sepanjang jalan yang kosong sambil berfiir tentang makna yang fana da abadi. Aku tidak akan pernah berfikir tentang soal-soal seperti itu kalau aku tidak pernah sampai ke kota Ningi. Maklumlah, aku ini Cuma seorang petugas sensus yang sederhana. (SGA. 2002: 82-83)

Suatu ketika dalam hidupku sebagai petugas sensus, aku ditempatkan di Kota Ningi. Sebuah kota yang tidak kukira akan membangunkan aku dari kantuk hidupku yang begitu panjang. … (SGA. 2002: 83)

Kota Ningi dalam cerpen digambarkan sebagai kota yang sangat menyeramkan, unik dan sangat tidal lazim. Di kota tersebut terjadi pembantaian masal sehingga penduduk (yang terlihat) semakin sedikit. Seperti nampak pada kutipan berikut:

Tentu saja aku mendengar bisik-bisik, bahwa pada malam hari berkeliaran gerombolan bertopeng yang suka memasuki rumah orang dengan paksa, dan membawa penghuninya pergi. Menurut bisik-bisik itu, tidak selalu orang-orang yang diculik itu kembali. … (SGA 2002: 87).

Pada kutipan tersebut diceritakan bagaimana cara gerombolan bertopeng memasuki rumah dengan paksa dan membawa penghuninya pergi. Ada kemungkinan oleh gerombolan bertopeng, orang-orang yang diculik tersebut dibunuh karena dalam teks disebutkan ‘tidak selalu orang yang diculik tersebut kembali’.

Kota Ningi dalam cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas) juga diperlihatkan sebagai kota yang sangat misterius. Karena jumlah penduduknya selalu menurun dan penduduk Kota Ningi terbiasa hidup dengan orang-orang yang tak kelihatan. Orang-orang yang tidak terlihat tersebut diakui sebagai penduduk Kota Ningi sebagai saudara yang dibunuh oleh gerombolan bertopeng. Kutipan berikut memperlihatkan hal tersebut.

….. Aneh sekali. Ketika dunia mengerutkan kening karena laju pertumbuhan penduduk yang mengerikan, Kota Ningi malah makin lama makin berkurang penduduknya. Ketika aku membongkar-bongkar arsip, catatan tahun 1974 menunjukkan jumlah 688. 771 orang. Namun ketika aku menghitungnya kembai pada tahun 1978 ternyata penduduknya sudah menjadi 329. 271 orang. Ke mana yang 359. 500 orang itu pergi? … (SGA. 2002: 83-84).

….. Di pasar terdengar keramaian dari orang-orang yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Agaknya orong- orang Kota Ningi sudah terbiasa hidup bersama orang-orang yang tidak kelihatan itu, meskipun orang-orang yang tidak kelihatan itu tampaknya sama sekali tidak berbicara. (SGA. 2002: 85-86)

Pada cerpen karya Seno tersebut gerombolan bertopeng melakukan aksinya di Kota Ningi pada malam hari, tetapi penculikan oleh gerombolan bertopeng tidak akan menculik pendatang atau yang bukan penduduk asli Kota Ningi. Hal tersebut secara gamblang disebutkan dalam kutipan berikut:

Sampai sekarang, sudah 15 tahun aku tinggal di Kota Ningi, dan hidupku sungguh-sungguh kesepian. Siang hari aku bekerja menghitung orang, malam hari aku tidak berani keluar rumah karena ada gerombolan bertopeng seperti ninja. Memang, teorinya, mereka tidak akan memasiki rumahku karena aku hanya seorang pendatang. …(SGA. 2002: 89).

Selain sebagai sebuah kota yang misterius, Kota Ningi juga dilukiskan sebagai sebuah kota yang amat religius. Setidaknya hal tersebut muncul pada paragraf pertama cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas):

Pada malam hari Natal itu, lonceng gereka berkeloneng, dentangnya bergema keseluruh penjuru Kota Ningi. Kudengar gema paduan suara menyanyikan malam kudus, dan di langit kulihat bintang-bintang begitu terang. Keidupan manusia begitu fana – tapi bukankah kita harus selalu percaya, ad sesuatu yang bernilai abadi dalam hidup ini? (SGA. 2002: 81)

Pelukisan Kota Ningi sebagai kota religius juga nampak pada bagian akhir cerpen. Sehingga Kota Ningi digambarkan dalam dua sisi, satu sisi ia merupakan kota yang misterius dan kejam (dengan banyaknya penculikan) dan sisi yang lain menggambarkan sisi kereligiusan Kota Ningi. Sedangkan latar tempat rumah disebutkan pada bagian awal saat tokoh aku bercerita mengenai nasibnya di Kota Ningi. Rumah dalam cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas) digambarkan sebagai gaya rumah yang ketika masuk sudah nampak meja makan. Seperti nampak pada kutipan:

Rumah yang kumasuki dulu itu, ketika kumasuki kembali penhuninya tinggal satu orang, tujuh orang lainnya sudah tidak kelihatan. Kalau makan di meja itu ia tampak sendirian, tapi disebelah-sebelahnya sendok dan garpu berdenting-denting …(SGA. 2002: 88).

Latar jalanan Kota Ningi nampak dalam paragraf kedua cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas):

Pada malam natal, di Kota Ningi, kulangkahkan kakiku sepanjang jalan yang kosong sambil berfikir tentang makna yang fana dan yang abadi. …(SGA. 2002: 81)

Jalanan Kota Ningi dilukiskan sebagai jalanan yang lengang, sepi karena tidak lagi ada manusia yang kelihatan tapi masih menampakkan kehangatan Natal. Kesan jalanan Kota Ningi dikarenakan penduduknya yang kelihatan telah habis. Seperti yang nampak dalam kutipan berikut:

Pada malam hari Natal, tinggal aku sendiri yang kelihatan di kota itu. Lonceng gereja berkeloneng, dentangnya bergema ke seluruh kota. …(SGA. 2002: 90)

2. Latar waktu

Latar waktu cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas) adalah malam Natal tahun 1993, lebih tepat lagi 24 Desember tahun 1993 malam. Tanggal dan bulan tersebut didasarkan pada:

Pada malam Natal, di Kota Ningi, kulangkahkan kakiku sepanjang jalan yang kosong sambil berfikir tentang makna yang fana dan abadi. (SGA. 2002: 81)

Natal merupakan salah satu hari besar agama Kristen dan Katolik yang selalu diperingati setiap tanggal 25 Desember. Artinya ‘malam natal’ mengacu kepada malam tanggal 25 Desember atau tanggal tepatnya 24 Desember. Sedangkan angka tahun 1993 didasarkan atas pertama kali tokoh petugas sensus dalam cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas) menghitung jumlah penduduk Kota Ningi, yaitu tahun 1978. hal tersebut nampak pada kutipan berikut:

… Ketika aku membongkar-bongkar arsip, catatan tahun 1974 menunjukkan jumlah 688. 771 orang. Namun ketika aku menghitungnya kembali pada tahun 1978 ternyata penduduknya sudah menjadi 329. 271 orang. (SGA. 2002: 83)

Cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas) adalah cerita berbingkai. Artinya saat itu tokoh utama berkontemplasi dengan cara bercerita kembali kejadian atau peristiwa yang telah dialaminya. Dalam hal ini tokoh cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas) bercerita kembali mengenai awal mula ia berkenalan dengan kemisteriusan Kota Ningi. Kutipan berikut menunjukan hal tersebut:

Suatu ketika dalam hidupku sebagai seorang petugas sensus, aku ditempatkan di Kota Ningi. Sebuah kota yang tidak kukira akan membangunkan aku dari kantuk hidupku yang begitu panjang. … (SGA. 2002: 83)

Baiklah kuceritakan padamu bagaimana kehidupanku yang mengantuk sebagai petugas sensus itu tergugah.

Pada hari pertama aku memasuki sebuah rumah, aku sudah menemukan satu hal yang ajaib. Kuhitung seisi rumah ada tujuh orang di sana. (SGA. 2002: 84)

Asumsi bahwa cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas) karya Seno Gumira Ajidarma adalah cerita berbingkai diperkuat pada:

Sampai sekarang, sudah 15 tahun aku tinggal di Kota Ningi, dan hidupku sungguh-sungguh kesepian. … (SGA. 2002: 89)

Artinya tokoh aku yang mempunyai pekerjaan sebagai petugas sensus bercerita kembali tentang pengalamannya setelah 15 tahun tinggal di Kota Ningi. Di muka telah disebutkan bahwa awal tokoh aku menghitung jumlah penduduk Kota Ningi adalah tahun 1978, tahun 1978 ditambah 15 tahun adalah tahun 1993.

Malam Natal tahun 1993 digambarkan sebagai sebuah malam yang mencekam. Karena tinggal tokoh aku yang merupakan pendatang yang tinggal seorang diri. Sedangkan semua penduduk Kota Ningi telah menjadi makhluk yang tak terlihat. Meskipun rasa sakral Natal masih terasa dengan suara keloneng gereja dan paduan suara.

3. Latar alat

Seperti pengertian latar di atas, alat-alat yang digunakan para tokoh yang berhubungan dengan kehidupan dalam cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas) adalah piring, sendok, garpu, gelas dan teko. Sebagai pelukisan lingkungan rumah, lebih tepatnya ruang makan. Sebagaimana nampak dalam kutipan berikut:

Tangannya menunjuk meja makan. Aku memandang ke arah yang ditunjuk oleh tangannya itu. Kulihat ada nasi di piring, ada kerupuk, dan ada tempe. Kulihat sendok dan garpu bergerak sendiri, seolah ada seseorang yang memegangnya, dan menyuapkan nasi serta tempe itu ke mulutnya. Aku ternganga. (SGA. 2002: 84)

Aku keluar rumah itu dengan kepala pusing. Kulihat sendiri bagaimana teko tertuang, gelas terangkat, air terminum dan lenyap, seolah-olah memang ada yang meminumnya.

Selain itu alat-alat seperti sendal jepit, sepeda motor, dan mobil menggambarkan lingkungan kehidupan jalan, dalam cerpen ini jalanan Kota Ningi. Kutipan berikut mengilustrasikan hal tersebut:

… Kalau aku berjalan di kota itu, kadang-kadang kulihat sepasang sendal jepit berjalan sendiri, sepeda motor tiba-tiba menyala dan tancap gas, begitu juga mobil yang melaju tanpa pengemudi. … (SGA. 2002: 85)

Latar alat di atas digunakan oleh tokoh aku untuk menceritakan kembali bagaimana suasana Kota Ningi. Bagaimana suasana rumah-rumah penduduk Kota Ningi yang terwakili oleh kehidupan ruang makan. Serta bagaimana kehidupan dan interaksi penduduk Kota Ningi yang digambarkan lewat kehidupan jalanan.

Latar alat dan latar-latar lain kemudian membentuk latar sosial yang ada melingkupi para tokoh dalam cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas) karya Seno Gumira Ajidarma.

4. Latar Sosial

Latar sosial kehidupan para tokoh dalam cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas) adalah sebuah kehidupan masyarakat biasa atau sebuah masyarakat yang bekerja bukan di kantor atau instansi pemerintah. Namun hal tersebut hanyalah imbas dari sebuah tragedi penculikan komplotan bertopeng dan aslinya (awalnya) mereka hidup berkecukupan. Hal tersebut nampak pada sesuatu yang dimakan keluarga yang dikunjungi oleh tokoh petugas sensus (kontras dengan alat makannya) dan dua tempat yang dijadikan tokoh utama untuk menunjukkan kemisteriusan Kota Ningi (jalan dan pasar). Misalnya pada kutipan berikut:

Tangannya menunjuk ke meja makan. Aku memandang ke arah yang ditunjuk oleh tangannya itu. Kulihat ada nasi di piring, ada kerupuk, dan ada tempe. Kulihat sendok dan garpu bergerak sendiri, seolah-olah ada seseorang yang memegangnya, dan menyuapkan nasi serta tempe ke mulutnya. Aku ternganga. (SGA. 2002: 84)

Lauk pauk dalam kutipan tersebut hanyalah tempe dan kerupuk. Tentu saja hal ini menyiratkan sebuah kehidupan masyarakat kelas menengah kebawah. Tetapi ada keanehan apabila benar cerpen tersebut memiliki latar sosial kehidupan masyarakat menengah ke bawah yang diasumsikan bukan sebagai masyarakat yang tidak bekerja, atau setidaknya tidak bekerja di kantor-kantor dan instansi pemerintah. Meskipun dalam cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas) memang hanya disebutkan satu tempat yang menunjukkan kegiatan ekonomi, yakni pasar. Dalam cuplikan di atas disebutkan bahwa tokoh yang diceritakan makan menggunakan garpu dan sendok (dan bukan makan mie atau bakso). Artinya mereka adalah orang kelas menengah ke atas, karena konvensi yang ada di Indonesia makan nasi menggunakan garpu telah cukup untuk menunjukkan gaya hidup seseorang. Sehingga sangat mungkin apabila sebenarnya lingkungan hidup para tokoh (masyarakat Kota Ningi) merupakan penduduk yang kaya atau setidaknya mampu, namun terjadi suatu hal yang menyebabkan mereka mesti makan dengan lauk pauk seadanya. Misalnya karena keluarga yang biasa menjadi tulang punggung telah dibunuh oleh gerombolan bertopeng. Kesan bahwa awalnya penduduk Kota Ningi adalah penduduk golongan menengah ke atas diperkuat dengan alat lendaraan yang dimunculkan dalam teks juga menyatakan kemewahan. Misalnya dalam kutipan berikut:

… Kalau aku berjalan di kota itu, kadang-kadang kulihat sepasang sendal jepit kulihat sendiri, sepeda motor menyala dan langsung tancap gas, begitu juga dengan mobil yang melaju tanpa pengemudi. … (SGA. 2002: 85)

Dengan alasan yang sama pada penggunaan alat makan garpu dan sendok, masyarakat Indonesia pada umumnya masih menganggap bahwa orang yang memiliki motor dan mobil adalah orang kaya. Setidaknya lingkungan hidup tokoh-tokoh dalam cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas) dari golongan menengah yang menjadi korban sebuah tragedi penculikan komplotan bertopeng. Sehingga mereka tidak lagi memiliki pendapatan dan hanya mampu makan dengan lauk sederhana.

D. Kesimpulan

Cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas) karya seno Gumira Ajidarma memiliki latar tempat yang dominan. Latar tempat yang paling nampak pada cerpen tersebut adalah Kota Ningi yang digambarkan sebagai kota misterius, tetapi juga memiliki aspek religius. Selain berlatar Kota Ningi secara umum, cerpen juga menggambarkan rumah penduduk dan jalanan Kota Ningi.

Latar waktu dalam cerpen karya Seno Gumira Ajidarma adalah malam 25 Desember tahun 1993. Latar Alat pada cerpen Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas) adalah sendok, garpu, piring, gelas, dan teko sebagai alat yang menunjukan lingkungan ruang makan, sedangkan latar alat sepeda motor dan mobil melukiskan ligkungan jalanan Kota Ningi. Latar sosial cerpen adalah golongan masyarakat yang menjadi korban sebuah tragedi penculikan anggota keluarga oleh komplotan bertopeng. Sehingga mereka hanya bisa makan dengan lauk pauk yang demikian sederhana.

* Mahasiswa Sastra Indonesia UGM

Daftar Pustaka

Gumira Ajidarma, Seno. 2002. Saksi Mata. Yogyakarta: Bentang

Gumira Ajidarma, Seno. 2005. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra harus Bicara. Yogyakarta: Bentang

Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Judul asli: An Intruduction to Fiction. 1965. New York: Holt, Rinehart and Finston, Inc diterjemahkan oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad)

Wikipedia.org